Langsung ke konten utama

Karimun Undercover

Bab I

Masih Ada Allah di Hati Mereka

*11 Bulan Tenggelam Dari ‘’Nya’’

Laporan : Riyadi 

RAMADHAN memang benar-benar merupakan bulan penuh hikmah, sebagai umat manusia, yang merupakan makhlup ciptaanTuhan dan tak pernah lepas dari kesalahan. Dibulan suci inilah semua kesalahan yang telah dilakukan selama ini untuk  coba ditebus dengan beribadah melaksanakan seluruh ajaran yang sudah dibuat dan sesuai dengan pesan yang disampaikan di dalam Al Qur’an. Disadari  atau tidak semua perbuatan yang dilakukan di dunia akan dipertanggungjawabkan sampai diri ini menutup mata untuk selamanya. Sampai diri ini menghadap kembali kepada Nya di akhir zaman nanti.

Bagaimana dengan mereka yang selama ini terjerumus dalam lembah hitam, perbuatan yang dilaknat Allah dilakukan mereka selama ini. Apakah di bulan yang penuh berkah dan rahmat Nya ini akan digunakan sebaik-baiknya bagi mereka yang berbuat hal-hal tersebut.

Salah seorang wanita yang selama hampir 11 bulan setiap tahunnya terjerumus dalam lembah nista justru menanggapi serius dengan pertanyaan yang selama ini terpendam di hati kecil Ku.
Wanita berambut sebahu dengan kulit kuning langsat ini hanya tertunduk tertegun, sesekali menatap wajah Ku, wajah wanita berusia sekitar 26 tahun ini yang awalnya putih bersinar dibalut dengan bedak ternama dengan bibir digilas warna merah dari lipstik yang dikenakannya.

Tatapannya wajahnya ke Aku hanya sekali-kali saja, tak banyak berkata, hanya menganggukan kepala saat Aku bicara. ‘’Iya saya salah ya,’’ celetuknya sesekali sambil menunduk.
Saat bertemu dengan Ku di salah satu kantin lokalisasi di Tanjungbalai Karimun, wanita dengan bentuk wajah oval ini minta namanya agar disamarkan. Hal ini sempat membuat saya memberikan namanya Jesnita. 

Wajah yang membuat sejumlah lelaki pastinya akan terpesona melihatnya, justru di depan Ku wajahnya memerah seperti tak dapat menahan emosi ketika saya bertanya apakah ia menjalani ibadah puasa?

Jesnita langsung tersedak saat Aku bertanya hal itu, seraya tangan kananya yang digumpalkan dijulurkan ke depan bibir yang dibalut lipstik tipi itu. 

‘’Loh kok tersedak, emang saya salah ya, atau ada yang lucu ya,’’ ucap Ku mencoba ingin tahu lebih dalam tentang apa yang dilakukannya di bulan suci ini.

Saya jadi sadar, mungkin pertanyaan itu dengan mudah dijawab oleh mereka yang hidup diluar jalur hitam tersebut. Namun bagi mereka yang berada di lembah hitam itu sangat sulit menyebutnya.

Entah apa yang akan diutarakannya kepada Ku, entahlah? Apakah dia mau mengatakan sedang menjalani puasa atau kebalikannya? Namun hati Ku berkata Jesnsita pasti sedang berpuasa.
Sejenak Aku terdiam, saat dia juga turut melamun di depan mata Ku. Lagi-lagi hati Ku bertanya kembali apakah Jesnita sedang berpuasa? Namun hati tetap berkata gadis berkulit kuning langsat ini dengan tinggi sekitar 154 centimeter ini pasti sedang berpuasa.

Hal ini Aku lihat dari bibirnya yang dibalut lipstik tipis namun tetap terlihat kering. Tubuhnya yang terlihat lemas juga meyakinkan hati Ku dia memang sedang berpuasa. Tapi entahlah semoga saja Aku benar menduganya.

****

Aku dan Jesnita terdiam dibawah atap kantin lokalisasi itu. Tak terasa oleh kami berdua, kesunyian siang itu di kantin tiba-tiba terpecahkan. Suara lantang dari jarak sekitar 2 meter terdengar memanggil Ku.

‘’Yadi, dah lama di sini,’’ ucap pria bertubuh besar dengan kulit sedikit hitam ini memanggil nama Ku.

Jelas saja Aku spontan memutar pandangan kearah kanan. Dari pintu kantin yang terbuka terlihat tubuh pria itu menuju kearah Ku dan Jesnita. 
Dengan langkah cepat membuat tangan kanan pria itu langsung menyentuh bahu kanan Ku. 

‘’Ada apa ni, ada yang bisa abang bantu,’’ ucapnya menggambarkan dia sudah mengenal Ku sejak lama.

Ya, dia saya kenal dengan sebutan germo, pria yang juga akhirnya saat Ku jelaskan ingin melakukan tugas jurnalistik Ku untuk menggambarkan kehidupan dari lokalisasi tempat ia memperkerjakan beberapa wanita penghibur, minta namanya juga disamarkan.

Aku biasa memanggilnya Jiko, seorang germo di salah satu blok lokalisasi yang ada di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Sebuah provinsi yang baru dimekarkan sekitar tiga tahun lalu.   

Bukan hanya aku yang mengenal Jiko, mungkin semua  rekan seprofesi Ku mengenal Jiko juga. Jiko yang terkenal seperti humas di Lokalisasi itu terlihat sedikit bingun saat melihat Aku bersama Jesnita.

‘’Ada apa ne,’’ lagi-lagi Jiko mencoba ingin tahu kenapa Aku ada di tempat itu bersama Jesnita.
Tetap saja Aku dengan jujur menjawabnya. ‘’Biasanya lagi kerja cari berita saja,’’.

Jiko langsung duduk di bangku persis di samping Jesnita duduk sekitar beberapa derajat dari tatapan mata Ku. Memang kehadiran Jiko membuat aku tak dapat berbuat banyak. Maklumlah seperti tak begitu bebas yang akan aku dalami tentang kehidupan Jesnita selama bulan Ramadhan ini.

Aku, Jesnita dan Jiko larut dalam diam siang itu. Bibir Ku terasa kaku untuk semakin mencoba untuk lebih dalam mengetahui kehidupan wanita penjaja sekss tersebut.

‘’Ah kira-kira Jiko tersinggung gak ya kalau aku lanjuti,’’  guman Ku dalam hati.

‘’Kenapa diam Di,’’ kata-kata yang keluar dari Mulut Jiko memecahkan lamunan Ku yang sedikit menjaga perasaan.

‘’Ah Bang, tak ada masalah kok,’’ jawab Ku coba menyembunyikan apa yang sedang aku lakukan di lokalisasi itu.

‘’Biasalah bang, lagi kerja,’’ 

‘’Iya abang tahu, ada yang bisa abang bantu gak?,’’ Jiko kembali melemparkan  pertanyaan pada Ku.

Mendapatkan pertanyaan itu, membuat aku tiba-tiba berfikir mungkin ini kesempatan Aku untuk berterus terang saja. Sesaat aku terdiam.

‘’Aku bilang ajalah, kalau Jiko marah aku pulang aja,’’ guman Ku lagi.

‘’Gini bang, aku mau buat liputan tentang kehidupan Pekerja Seks Komersil  (PSK) di bulan 
Ramadhan, biar orang tahu bahwa PSK juga puasa gitu,’’ Aku coba memberanikan diri seolah meminta izin pada Jiko.

Ya, kita manusian punya etika kan, kalau masuk rumah orang pasti harus permisi. Itulah yang aku lakukan, persmisi kepada pemilik rumahnya. Awalnya aku menduga pasti tak diizinkan karena akan menimbulkan polemik di masyarakat.

Maklumlah mungkin kita semua tahu, pekerjaan wanita penjajah seks itu selalu menjadi caci makian sebagian masyarakat yang ada. Apalagi kaum ibu-ibu yang merasa mereka adalah perusak rumah tangga orang, bahkan hingga di nyatakan makhlup yang disebut-sebut hina.

Tapi semua itu salah sebenarnya, Aku sendiri merasakannya, saat Aku mencoba mendalami kehidupan mereka di Bulan Suci ini. Justru mereka juga sama seperti wanita-wanita lainnya di dunia ini. Hanya nasib dan takdir mereka yang tenggelam dari jalan yang telah di tunjukan oleh Tuhan.

Aku rasa begitu sebenarnya, karena meski gimana pun mereka itu juga manusia yang tak lepas dari kesalahan. Sama seperti kita semua punya salah dan silap, meski kadang kita tak pernah mau mengakuinya.

Nah figur Jesnita yang membuat saya yakin bahwa mereka juga sama dengan Ku dan semua orang diluar komplek lokalisasi tersebut. Mereka sebenarnya ingin hidup sempurna sama dengan wanita-wanita lain.

Namun mereka salah dalam mengartikan hidup. Tapi bukan berarti mereka harus tenggelam selamanya dalam lumuran dosa dan noda tersebut. Terkadang mereka juga berpikir apa yang mereka kerjakan adalah salah yang sangat besar.

Mungkin mereka juga menginginkan ridho Allah, ya mereka juga ingin kasih sayang dari Nya. 
Sejenak aku terlena lagi dalam lamunan mereka..................(Bersambung.........)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hanya Bisa Menonton

Jeritan ketakutan terdengar dari kegelapan.. Suasana tenang, sepi pun berubah jadi panik saat warga melihat api melalap rumah warga Kami.......... Kami......... Ya Kami Butuh bantuan Munamun........... Namun Kau Hanya bisa melihat Ya melihat saat Api merebut kebahagian kami.. Ya Saat Api Menelan Semua Milik Kami Katakan Apa yang bisa kau katakan....... Teman............ @Salam penulis, 2008

Menjala Ikan di Air Lumpur

Seorang nelayan tradisional sedang menjala ikan meski di air yang berlumpur

Dimana aku......

Sendiri, Sunyi ...... tanpa rasa bahagia..... hanya duka dan hembusan angin dan ombak dilaut yang terasa.... dibalik gubuk tua nan rapuh.......... yang kini tak mungkin jadi rumah impan ku lagi......