Langsung ke konten utama

''My Father In Memory''

Oleh: Riyadi

*Dia Awal Kehancuran?

Sesaat tiba-tiba kesunyian pagi itu sontak berubah, kesepian yang kurasakan pun ikut menjadi suasana yang tak pernah dirasakan. Pecahan gelas, piring dan berbagai benda yang ada di ruangan dapur rumahku berdentingan jatuh kelantai silih berganti.

Perasaan takut bercampur  penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi di jarak yang hanya berkisar satu meteran dari kamar tidur Ku, membuat aku dengan terpaksa membuka mata yang masih terpejam  di rajang reot yang menjadi teman dalam menghilangkan lelah ku.

Dengan langkah kaki perlahan Ku berjalan kearah suara yang terdengar tersebut. Sejuta tanda tanya pun terasa diotak Ku. Apa yang terjadi pagi-pagi buta ini.

Aku terus melangkahkan kaki menuju arah suara tersebut yang semakin dekat mendesing ditelinga, semakin suara riuh itu dekat dengan Ku, Aku kecil yang masih berotakan main dan berkulit sawo matang ini tak kuat menahan rasa ketakutan seiring  semakin kerasnya benda-benda pecah belah itu jatuh satu persatu.

‘’Apa sih yang terjadi,’’ tanya Ku dalam hati.

‘’Gedbraakkkk,………,brakkkkk,,,,,,, pergi kau perempuan iblis, dasar perempuan kotor kau, pergi,……….pergi tak sudih aku melihat kau lagi,’’  teriak  seorang pria dengan nada kasar yang membuat Aku tersentak kaget luar biasa dan menghentikan langkah kaki Ku.

‘’Sepertinya aku mengenal suara itu,’’

‘’Ya itukan………………ya itu suara, itu seperti suara Ayah,’’ gumam Ku.

Sontak mendengar suara pria yang kasar itu, Aku langsung buru-buru menuju pintu dapur yang tertutup rapat tersebut. Ku raih gagang kunci pintu, dalam tempo singkat  Aku langsung berusahan memcoba membuka pintu tersebut dan ingin mengentahui apa yang sebenarnya sedang terjadi.

‘’Ayah,,…… buka pintunya, apa yang Ayah lakukan di dalam, buka Yah,……..”.

Bukan jawaban yang membuat Aku tenang, justru pria yang berkata-kata kasar tersebut dan merupakan ayah Ku justru kembali  mengeluarkan kata-kata kasr kembali.

‘’Yogi jangan masuk, kamu masih kecil nak,’’

‘’Yogi,……….., masuk ke kamar kamu lagi sekarang,….’’ Teriak pria kasar itu lagi ke pada  Ku yang masih berbatasan pintu kayu yang tertutup rapat tersebut.

Jelas saja aku yang mendapatkan jawaban itu bukan justru beranjak dari balik pintu yang  tampak usang dan tertutup rapat tersebut. Ya aku bocah yang masih bau kencur harus mengikuti apa kata orang tua, namun aku terus berusaha mencoba membuka pintu yang terkunci tersebut.

Aku menjadi bingun, ya aku seolah mencoba memncari cara bagaimana menghentikan pertengkaran hebat malam itu. Hingga akhirnya aku yang masih mengenakan piayama warna pink lengan pendek ini berpikir negatif. Ku coba melakukan aksi diluar dugaan yang ada dalam benak bocak mungil yang seharusnya dilakukan oleh pria dewasa.

‘’sepertinya aku harus melakukan sesuatu untuk menghentikan bapak yang ibu ku yang bertengkar nih,’’

‘’Tapi………..,, tap……………, apa ya yang buat bapak dan ibu agar berhenti teriak-teriak ya,’’ .

Dengan langkah gontai, Aku pun mengikuti lorong kecil rumah tersebut. Tak ada yang dapat dibuat bocah mungil ini. Hanya saja di benak Ku terus bertanya apa sebenarnya yang terjadi terhadap kedua orang tua Ku tadi. Aku pun terus melangkah sambil berpikir keras menemukan jawabannya.

‘’Aku harus tahu apa yang terjadi sebenarnya,’’

 ‘’Ya,…………, aku harus tahu itu,’’

Sebuah pikiran yang luar bisa bagi bocah mungil dan lucu seusiaku saat itu. Kemudian Aku kembali melangkahkan kaki ke arah kamar yang kecil namun membuat Ku tenang di dalam kamar tersebut.

Ku rebahkan tubuh mungil ini kembali ke ranjang reot yang selama ini tempat peristirahatannya dikala rembulan mulai menampakan dirinya.

‘’Gdbrakkk,…….brakakak,’’

‘’Ku bilang pergi kau dari sini wanita  jalang, dasar tak tahu diri,’’

Bukan main kaget Aku, baru saja mata Ku kembali mulai terturup suara kasar dan keras itu tetap terdengar disusul dengan teriakan-teriakan seperti mengusir orang dari dalam rumah ini.

‘’Ibu,………..,’’ Aku langsung berlari menuju pintu dapur kembali.

Lagi-lagi pintu dapur tersebut tertutup rapat, untuk yang kedua kali, Aku tak dapat melihat apa yang terjadi di ruangan dapur itu.

     Namun lagi-lagi tak ada jawaban yang Ku dapati dari kedua orang itua yang kusayangi tersebut. Kembali Ku belari ke ruang kamar lagi. Kali ini Aku tak sadar air matan menetes membasahi pipi Ku. Ya Aku mulai merasakan duka, kesedihan tak dapat terhindar lagi.

‘’Ibu,…… jangan pergi bu,’’

‘’Pak jangan usir ibu, Yogi sayang ibu pak,’’

Sementara pertikaian mulut terus terdengar dari ruangan dapur rumah Ku, berbagai suara benturan keras dari barang-barang yang jatuh terus terdengar ditelinga Ku.

Lagi-lagi Aku kembali berlari ke pintu dapur, untuk yang ketiga kali, Aku meminta kedua orang tua Ku membuka pintu dapur yang terkunci itu. Kali ini Aku berhasil. Seorang wanita muncul dari balik pintu yang mulai terbuka saat itu.

‘’Yogi, … ibu ngak apa sayang,’’ celetuk wanita itu yang ternyata adalah ibu Ku sambil merangkul ku.

Namun baru saja Aku berada di dekapan sang ibu tiba-tiba pria besar dengan tubuh kekar itu langsung merebut Ku yang dalam dekapan orang yang selama ini Ku dengar memiliki surga di telapak kakinya tersebut.

‘’Lepaskan Yogi,…. Agnes, dia tak layak bersama mu,’’ teriak pria dengan tinggi sekitar 170an yang tak lain adalah Doni ayah Ku kepada wanita yang mendekap Ku erat.

‘’Tidak pak! Yogi mau ikut ibu,’’ tukas Ku menjawab bapak.

‘’Pak sadarlah? Sudah hentikan pertikaian ini, Yogi masih kecil pak, jangan diteruskan, kasian Yogi pak,’’.

 ‘’Sayang, bapak dan ibu tak apa-apa kok, Yogi jangan nangis ya, ibu sama bapak baik-baik kok. Iyakan pak?,’’ ujar Ibu ku yang masih mendekap Ku dengan erat.

****

Spontan Ayah Ku langsung terdiam sembari berjalan gontai ke arah ruang tamu, dan kemudian menuju pintu utama rumah. Dipandangnya taman rumah yang penuh dengan kehijauan. Ya Ayah Ku seolah tak dapat menahan emosinya malam kemarin hingga pagi menjelmah dan tak terasa matahari pun sudah berada di atas kepala, namun melihat anaknya yang masih kecil, Doni  pun seolah tak mampu meneruskan kemarahannya itu.

‘’Aku harus tenang, kasian Yogi, iya masih kecil, tapi,…..? Kau istri ku, apa yang kau lakukan bersama Suryanto,’’

Ya, Suryanto tak lain adalah teman dekat Doni, pria yang baru 1 bulan datang dari kampungnya di Pulau Jawa dan tinggal di rumahnya untuk sementara. Suryanto memang  dikenal dekat oleh Doni saat masih di kampung halamanya. Begitu juga dengan Agnes yang juga mengenal Suryanto waktu masih gadis. Namun kini Doni harus menerima kekalahan dari Suryanto ketika Agnes kembali bertemu dengan Suryanto.

    Ironisnya yang dilakukan Suryanto tak lain seperti pagar makan tanaman. Ya suryanto harus kembali mengingat masah lalunya. Sebuah kenangan manis dimasa remaja yang harus purpus lantaran kesalahannya. Cinta yang sudah terkubur seolah kembali bersemi. Setelah berlasan tahun terkubur kini muncul kembali.

Ya bagi Suryanto mungkin sebuah berkah yang istimewah sekali. Namun kebalikannya bagi Doni munculnya Suryanto seperti merupakan bencana besar yang dating dan tak terbendungkan lagi.

Namun diakui bapak dari tiga anak ini, semuanya merupakan kesalahannya. ‘’Mengapa aku mengizinkan  Suryanto tinggal di rumah ku,’’ gumannya masih berdiri di depan pintu masuk utama rumahnya.

‘’Tapi,……….’’

‘’Ya tapi Suryanto sudah ku anggap seperti saudara ku sendiri, kenapa aku tak boleh menbiarkan dia nginap di rumah ku,’’

‘’Tapi,……..’’ guman Doni sembari ingatannya menerawang jauh apa yang baru saja beberapa  menit terjadi antara ia dan istrinya.

Doni kembali membuka masa lalunya, saat ia masih di kampung halamannya, ya di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur, sebuah kecamatan kecil yang bernama Pacitan. Sebuah daerah yang merupakan kampung halaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kini memimpin negeri Indonesia tercinta ini.

Sebuah kenangan manis saat masih di  kampung halaman, desa yang nyaman dan penuh dengan kesejukan dan ketentraman saat itu. Perkenalan Doni dan Agnes merupakan salah satu kisah hidupnya yang sangat sulit dilupakannya.

Mungkin bagi Doni kenangan masa lalunya itu merupakan sejarah panjang yang tak mungkin pernah hilang diningatannya. Namun kembali ia mengingat apa yang baru saja terjadi.

Doni seolah tak dapat menentukan hidupnya lagi, dalam otaknya seolah tak mampu menerima apa yang terjadi. Apalagi saat iya melihat istrinya bersama Suryanto berduaan saat ia pergi.

Jelas saja Doni terbakar emosi, saat itu ia melihat istrinya sedang berduaan jelas terlihat dengan mata kepalanya sendiri hubungan mesra antara Suryanto dan Istrinya.

*****

Ayah Ku pun kembali mencoba menenangkan pikirannya yang sedang terbalut emosi, namun baru saja ia ingin menuangkan isi hatinya yang sedang gundah, tiba-tiba sesosok gadis yang mengenakan baju sekolah SMP secara tiba-tiba muncul di hadapannya hingga membuat Doni sontak terkejut .

‘’Siang pak,’’ ucap gadis itu yang tak lain adalah Dona anak keduanya buah hasil pernikahan Doni dan Agnes.

‘’Si…siang juga nak,’' jawab Doni  sembari mengangkat kepalanya yang sebelumnya tertunduk lesu dilanda kekecewaan mendalam.

Namun Doni tak dapat menyembunyikan perasaan kalutnya dari sang anak. Wajahnya yang terlihat kusut membuat Dona sang anak bertanya-tanya. Meski Doni mencoba untuk menyembunyikan perasaannya.

‘’Bapak kenapa kok kusut wajahnya,…..?’’

‘’Ada apa pak?” ucap Dona yang terhenti persis di depan orang tuanya tersebut sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.

Doni tertegun sesaat. Ia pun mencoba merubah mimik wajahnya yang sedang dilanda api emosi yang tak terbendungkan. Doni terus berusaha membuat anak keduanya itu tidak mengetahui pertengkaran hebat antara ia dan istrinya tersebut.

‘’Eh Dona, kok cepat lpulang sekolahnya,’’

‘’Emangnya sudah jam berapa nih? Atau lagi ada acara ya di sekolah?,’’ jawab Doni kepada Dona mencoba menyembunyikan permasalahan yang sedang melanda keluarganya.

‘’Eh! Bapak nih gimana sih! Sudah jam 1 siang ini,’’ ucap sang anak singkat.

‘’Apa sih yang bapak pikirin, sampai jam aja sudah tak ingat lagi,’’  Dona kembali bertanya kepada orang tuanya itu.

Doni terdiam sesaat atas pertanyaan anak keduanya tersebut. Gadis yang masih di bangku sekolah itu memang terlihat mulai dewasa. Gadis yang  tak lugu lagi., bisa membaca pikirannya. Gadis yang selama ini dididiknya menjadi gadis yang diharapkan akan membuat sebuah kebanggaan pastinya.

Cukup lama Doni terdiam mendengar pertanyaan anak gadisnya tersebut, sesaat Doni kembali terdiam, hingga tak sadar ia kalau sedang berada di depan anaknya.

Namun ia sontak kaget, saat suara kecil dan penuh kelembutan terhembus seiring dibawa hembusan angin dan mendesing di telinganya.

‘’Bapak,………..Bapak kenapa,’’ suara lirih itu pun menyadarkan Doni dari lamunan cukup panjangnya itu.

‘’Eh Dona, …..! gak ada apa-apa kok, ya udah kamu masuk sana, terus,’’ Doni menghentikan kata-katanya.

Dona yang melihat bapaknya yang bertingkah aneh itu pun kembali melontarkan pertanyaan kepada sang bakap yang tepat berdiri di depan pintu dan memandang jauh ke halaman rumahnya.

‘’Pak……pak…bapak kenapa kok diam lagi,’’ ujarnya lirih kembali.

‘’Eh, gak ada apa-apa kok, hampir lupa bapak. Bapak mau bilang Dona masuk rumah, habis tuh terus ganti baju ya, terus makan siang sana, ibu mu sudah masak tuh,’’ jawab Doni mencoba mengelak dari perasaannya yang sedang kalut tersebut.

Sebuah perasaan yang harus disembunyikannya dari anak-anaknya. Doni juga tak ingin memperlihatkan apa yang terjadi dalam keluarganya. Permasalahan yang akhirnya akan menghancurkan anak-anaknya juga.

Tak ada jalan pilihan yang harus diambil Doni akan perbuatan istrinya dan teman baiknya Suryanto. Ya sebuah permasalahan yang akan berakhir sebuah kehancuran. Doni juga berpikir seolah iya akan menjatuhkan dirinya kedalam jurang yang cukup dalam.

Namun tak ada yang dapat dilakukan Doni selain akan menceraikan sang istri yang dicintainya selama ini. Ya seorang istri yang selama hampir 14 tahun bersamanya namun kini harus menghianatinya.

Doni lagi-lagi termenung seiring Dona melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi Doni masih terlihat bingun memikirkan jalan apa yang harus dipilihnya.

Sebuah perceraian yang akan berakibat buruk di masa depan tiga anaknya. Atau ia harus menjalani hidup penuh kebohongan. Penuh dusta dan nista serta tiada pernah ada ketenangan antara ia dan istrinya.

‘’Oh tuhan jalan mana yang aku pilih,’’

‘’Apa yang harus aku lakukan, Tuhan berikan aku petunjukmu,’’ guman Doni dalam hatinya sambil memandang jauh kearah halaman yang tak ada ujungnya.

Tak lama Doni termenung  jauh, suara lelaki juga terdengar mendesing ditelinganya. Hingga membuat Doni kaget dan matanya tertuju kearah pria berusia 15 tahunan itu yang tak lain adalah anak pertamanya itu.

‘’Siang pak,’’ ujar Viko  singkat.

‘’Eh Viko, udah pulang ya, ya sudah sana cepat masuk dan ganti baju, adik mu juga baru pulang tadi, habis makan siang langsung sana,’’ jawab Doni tak mau terulang seperti dirinya dengan Dona yang hampir mengetahui apa yang sedang disembunyikannya tersebut.

Viko anak nomor satunya yang saat itu bekerja buruh bangunan akibat tidak meneruskan sekolah menengah pertamanya (SMP) itu terus melangkahkan kakinya dari hadapan bapaknya tersebut, hanya dalam beberapa detik saja Viko menghilang dari pandangan Doni. Sementara Doni terus melamunkan rumah tangganya yang sedang dalam batas kehancuran. (Lanjut ke Bab II)

 

****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hanya Bisa Menonton

Jeritan ketakutan terdengar dari kegelapan.. Suasana tenang, sepi pun berubah jadi panik saat warga melihat api melalap rumah warga Kami.......... Kami......... Ya Kami Butuh bantuan Munamun........... Namun Kau Hanya bisa melihat Ya melihat saat Api merebut kebahagian kami.. Ya Saat Api Menelan Semua Milik Kami Katakan Apa yang bisa kau katakan....... Teman............ @Salam penulis, 2008

Menjala Ikan di Air Lumpur

Seorang nelayan tradisional sedang menjala ikan meski di air yang berlumpur

Dimana aku......

Sendiri, Sunyi ...... tanpa rasa bahagia..... hanya duka dan hembusan angin dan ombak dilaut yang terasa.... dibalik gubuk tua nan rapuh.......... yang kini tak mungkin jadi rumah impan ku lagi......